Sudahkah aku menaruh kasih?
Memang benar adanya Tuhan memberi jawaban atas semua hal yang kita tanyakan melalui hal-hal atau peristiwa yang tidak kita sangka sebelumnya. Demikian dengan saya, sering sekali saya secara pribadi mengalami hal semacam itu dalam setiap lembar kehidupan saya.
Sebagai contoh yaitu pengalaman saya sehari penuh di hari Minggu, 28 April 2013 kemarin. Di hari tersebut adalah jadwal pelaksanaan, Gowes + Penanaman Pohon Mangrove yang diadakan oleh jurusan tempat saya kuliah. Saya turut serta di dalamnya, sebagai panitia dan sebagai seorang perserta gowes. Ya, saya pribadi sangat menyenangi olahraga tersebut (re:gowes). Bangun lebih pagi di hari itu, untuk segera berkumpul di jurusan sebagai bentuk persiapan pelaksanaannya. Setelah selesai mencuci muka, saya segera bersiap-siap untuk berangkat. Tidak lupa membawa bekal air putih.
Sarapan adalah sesuatu yang jarang saya lewatkan. Namun, sarapan lebih dini juga tidak pernah saya lakukan selama kurang lebih dua tahun terakhir ini. Sudah banyak event-event gowes yang saya ikuti, yang pastinya dilaksanakan pagi-pagi. Dan saat mengikuti event-event gowe tersebut, saya belum pernah sarapan terlebih dahulu, baik itu sarapan bubur, nasi atau roti. Namun di hari itu, sebelum berangkat menuju jurusan, saya seperti memiliki dorongan untuk terlebih dahulu ke pasar Keputih dekat kosan, untuk membeli kue Pukis, yang kalau di tempat saya di Sumatera sih dibilang kue pancung. Padahal jujur, saya tidak merasa lapar, sehingga benar-benar HARUS untuk memasukkan sesuatu dulu ke dalam perut saya, sebagai pengganjal rasa lapar. Juga entah kenapa, semalam sebelumnya saya kepikiran harus membeli air mineral 1.5 L yang akan menjadi bekal air saya selama gowes. Sebelum-sebelumnya tidak pernah sepersiapan seperti ini, karena pasti bakal ada air yang disediakan panitia. Dan memang nyatanya seperti itu, air minum tersedia banyak. Tapi memang itu sudah jalan Tuhan.
Rencana awal untuk membeli air mineral di minimarket Sakinah, yang notabenenya terdekat dengan Pasar Keputih, gagal dan berpindah ke Indomaret, karena Sakinahnya masih tutup. Sesampainya di Indomaret, saya melihat seorang bapak tua renta, yang bekerja sebagai pemulung, dan beliau bukanlah pengemis. Karena jujur, saya jauh lebih menghargai seorang pemulung di atas seorang pengemis. Karena pemulung adalah seorang pekerja, bukan peminta-minta. Jujur, saya adalah seorang yang melankolis. Saya sangat mudah terbawa suasana dan perasaan. Saya pribadi merasa simpati melihat Bapak tersebut, harus bangun pagi-pagi benar, bersaing dengan pemulung lainnya, dan terlebih bersaing dengan cuaca Surabaya yang sangat panas seiring semakin merangkaknya sang mentari. Begitu masuk ke Indomaret, saya terpikir untuk apa yang akan saya berikan kepada Bapak itu. Saya sempat berpikir memberi sedikit uang. Namun, saya menganggap dengan memberi uang, berarti saya sama saja menganggap Bapak itu adalah seorang pengemis. Saya menganggap hal itu adalah perbuatan hina (maaf bila saya memiliki pemikiran yang seperti itu). Juga dengan kondisi sudah bulan tua saat itu, saya sedang memiliki kondisi keuangan yang sudah semakin menipis. Sekeluarnya dari Indomaret, saya pun memutuskan untuk memberikan kue Pukis yang saya beli tadi utnuk Bapak itu. Oke, mungkin itu bukan sesuatu yang berharga dan bernilai besar. Hanya berupa kue kampung, yang bernilai Rp5.000.00. Namun, bagi saya pribadi, dengan memberikan itu saya berharap, saya dapat meringankan sedikit beban Bapak itu. Untuk waktu yang masih sepagi itu, pastilah Bapak itu belum menikmati sarapan. Tidak tahu apakah itu bisa dikatakan untuk menikmati, dalam kondisi tersebut. Jadi, saya pribadi berpikiran, yang dibutuhkan Bapak itu untuk saat itu adalah makanan, yang nantinya sekiranya bisa menjadi sumber tenaga bagi beliau untuk melakukan pekerjaannya sepanjang hari itu.
Dengan melihat senyum beliau dan ucapan terima kasih yang beliau sampaikan kepada saya, ketika memperoleh kue itu, membuat suatu kesenangan dan kepuasan sendiri bagi saya. Meskipun awalnya berencana untuk menjadikan pukis tersebut sebagai bekal, namun saya tidak merasa berat sama sekali. Selama gowes juga saya tidak merasa lapar yang bagaimana, meski sudah menempuh jarak gowes yang cukup jauh (terjauh yang pernah saya lalui sejauh ini). Saya juga seperti diberkahi mendapat makanan 2 bungkus+1 kotak..Hahahaha.. Banyak sisa soalnya, karena peserta tidak sebanyak yang diperkirakan..hehehe..
Singkat cerita, setelah selesai gowes dan sampai di kosan, saya sempat terpikir mengenai kejadian paginya dengan Bapak Tua itu. Saya sempat berpikir, apa yang telah saya lakukan itu? Apa artinya saya melakukan hal tersebut? Apa motivasi saya melakukan hal tersebut? Apa yang saya inginkan dari hal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memenuhi benak saya, sampai akhirnya saya tertidur karena kelelahan.
Karena pada hari itu adalah hari Minggu, maka saya pun harus melaksanakan ibadah Minggu. Namun karena gak punya kendaraan, siangnya saya meng-sms teman saya, Andri Sitinjak, untuk menanyakan jadwal ibadah kapan yang akan dia ikuti. Namanya juga nebeng, ya saya ngikut jadwal dia aja. Juga karena sadar saya masih sangat kelelahan saya pun memutuskan untuk mengikut dia untuk ibadah jam 7 malam, di GKI Manyar.
Di sinilah saya merasakan bahwa Tuhan secara tidak langsung memberikan jawaban kepada saya. Pertanyaan-pertanyaan yang sorenya memenuhi benak saya sepertinya menemukan jawabannya. Bagi saya tidak ada suatu kebetulan, karena rencana Tuhan tidak pernah kebetulan terjadi. Segala sesuatunya telah Dia rencanakan dengan sempurna. Sepertinya Tuhan memang sudah merencanakan memberikan jawaban kepada saya melalui kejadian yang terjadi di sepanjang hari itu. Hari itu firman Tuhan yang Dia sampaikan melalui gembala gereja adalah tentang Kasih. Perintah untuk menaruh kasih kepada sesama, karena Dia juga telah lebih dahulu mengasihi kita. Dia memberikan saya pelajaran tentang kasih kepada saya melalui setiap kejadian yang terjadi.
Melalui firman Tuhan yang saya dapat di hari itu, saya mengerti bahwa hidup dalam kasih memiliki pengertian untuk:
Kembali kepada kejadian di pagi hari yang saya alami. Apakah yang saya lakukan di pagi hari itu adalah bentuk kasih? Atau itu hanya rasa kasihan? Karena ketika saya melakukan hal tersebut, dan ketika saya juga mungkin melakukan hal-hal lain yang serupa dengan kejadian tersebut, saya masih belum memahami secara pasti, dasar apa yang saya pijak ketika saya melakukannya. But surely, i hope what have i do is love.
Sarapan adalah sesuatu yang jarang saya lewatkan. Namun, sarapan lebih dini juga tidak pernah saya lakukan selama kurang lebih dua tahun terakhir ini. Sudah banyak event-event gowes yang saya ikuti, yang pastinya dilaksanakan pagi-pagi. Dan saat mengikuti event-event gowe tersebut, saya belum pernah sarapan terlebih dahulu, baik itu sarapan bubur, nasi atau roti. Namun di hari itu, sebelum berangkat menuju jurusan, saya seperti memiliki dorongan untuk terlebih dahulu ke pasar Keputih dekat kosan, untuk membeli kue Pukis, yang kalau di tempat saya di Sumatera sih dibilang kue pancung. Padahal jujur, saya tidak merasa lapar, sehingga benar-benar HARUS untuk memasukkan sesuatu dulu ke dalam perut saya, sebagai pengganjal rasa lapar. Juga entah kenapa, semalam sebelumnya saya kepikiran harus membeli air mineral 1.5 L yang akan menjadi bekal air saya selama gowes. Sebelum-sebelumnya tidak pernah sepersiapan seperti ini, karena pasti bakal ada air yang disediakan panitia. Dan memang nyatanya seperti itu, air minum tersedia banyak. Tapi memang itu sudah jalan Tuhan.
Rencana awal untuk membeli air mineral di minimarket Sakinah, yang notabenenya terdekat dengan Pasar Keputih, gagal dan berpindah ke Indomaret, karena Sakinahnya masih tutup. Sesampainya di Indomaret, saya melihat seorang bapak tua renta, yang bekerja sebagai pemulung, dan beliau bukanlah pengemis. Karena jujur, saya jauh lebih menghargai seorang pemulung di atas seorang pengemis. Karena pemulung adalah seorang pekerja, bukan peminta-minta. Jujur, saya adalah seorang yang melankolis. Saya sangat mudah terbawa suasana dan perasaan. Saya pribadi merasa simpati melihat Bapak tersebut, harus bangun pagi-pagi benar, bersaing dengan pemulung lainnya, dan terlebih bersaing dengan cuaca Surabaya yang sangat panas seiring semakin merangkaknya sang mentari. Begitu masuk ke Indomaret, saya terpikir untuk apa yang akan saya berikan kepada Bapak itu. Saya sempat berpikir memberi sedikit uang. Namun, saya menganggap dengan memberi uang, berarti saya sama saja menganggap Bapak itu adalah seorang pengemis. Saya menganggap hal itu adalah perbuatan hina (maaf bila saya memiliki pemikiran yang seperti itu). Juga dengan kondisi sudah bulan tua saat itu, saya sedang memiliki kondisi keuangan yang sudah semakin menipis. Sekeluarnya dari Indomaret, saya pun memutuskan untuk memberikan kue Pukis yang saya beli tadi utnuk Bapak itu. Oke, mungkin itu bukan sesuatu yang berharga dan bernilai besar. Hanya berupa kue kampung, yang bernilai Rp5.000.00. Namun, bagi saya pribadi, dengan memberikan itu saya berharap, saya dapat meringankan sedikit beban Bapak itu. Untuk waktu yang masih sepagi itu, pastilah Bapak itu belum menikmati sarapan. Tidak tahu apakah itu bisa dikatakan untuk menikmati, dalam kondisi tersebut. Jadi, saya pribadi berpikiran, yang dibutuhkan Bapak itu untuk saat itu adalah makanan, yang nantinya sekiranya bisa menjadi sumber tenaga bagi beliau untuk melakukan pekerjaannya sepanjang hari itu.
Dengan melihat senyum beliau dan ucapan terima kasih yang beliau sampaikan kepada saya, ketika memperoleh kue itu, membuat suatu kesenangan dan kepuasan sendiri bagi saya. Meskipun awalnya berencana untuk menjadikan pukis tersebut sebagai bekal, namun saya tidak merasa berat sama sekali. Selama gowes juga saya tidak merasa lapar yang bagaimana, meski sudah menempuh jarak gowes yang cukup jauh (terjauh yang pernah saya lalui sejauh ini). Saya juga seperti diberkahi mendapat makanan 2 bungkus+1 kotak..Hahahaha.. Banyak sisa soalnya, karena peserta tidak sebanyak yang diperkirakan..hehehe..
Singkat cerita, setelah selesai gowes dan sampai di kosan, saya sempat terpikir mengenai kejadian paginya dengan Bapak Tua itu. Saya sempat berpikir, apa yang telah saya lakukan itu? Apa artinya saya melakukan hal tersebut? Apa motivasi saya melakukan hal tersebut? Apa yang saya inginkan dari hal tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memenuhi benak saya, sampai akhirnya saya tertidur karena kelelahan.
Karena pada hari itu adalah hari Minggu, maka saya pun harus melaksanakan ibadah Minggu. Namun karena gak punya kendaraan, siangnya saya meng-sms teman saya, Andri Sitinjak, untuk menanyakan jadwal ibadah kapan yang akan dia ikuti. Namanya juga nebeng, ya saya ngikut jadwal dia aja. Juga karena sadar saya masih sangat kelelahan saya pun memutuskan untuk mengikut dia untuk ibadah jam 7 malam, di GKI Manyar.
Di sinilah saya merasakan bahwa Tuhan secara tidak langsung memberikan jawaban kepada saya. Pertanyaan-pertanyaan yang sorenya memenuhi benak saya sepertinya menemukan jawabannya. Bagi saya tidak ada suatu kebetulan, karena rencana Tuhan tidak pernah kebetulan terjadi. Segala sesuatunya telah Dia rencanakan dengan sempurna. Sepertinya Tuhan memang sudah merencanakan memberikan jawaban kepada saya melalui kejadian yang terjadi di sepanjang hari itu. Hari itu firman Tuhan yang Dia sampaikan melalui gembala gereja adalah tentang Kasih. Perintah untuk menaruh kasih kepada sesama, karena Dia juga telah lebih dahulu mengasihi kita. Dia memberikan saya pelajaran tentang kasih kepada saya melalui setiap kejadian yang terjadi.
Melalui firman Tuhan yang saya dapat di hari itu, saya mengerti bahwa hidup dalam kasih memiliki pengertian untuk:
- Hidup bermakna. Untuk dapat hidup memiliki makna, kita harus memiliki relasi yang baik. Karena dengan adanya relasi yang baik, tentunya makna hidup itu akan benar-benar tercipta. Namun, sebuah relasi itu haruslah dalam bentuk vertikal dan horizontal, seperti yang telah Yesus ajarkan bagi kita. Relasi vertikal kita ciptakan bersama Tuhan kita, Yesus Kristus. Sedang relasi horizontal kita ciptakan bersama sesama kita manusia. Namun dalam membentuk hal tersebut, kita terlebih dahulu membangun relasi horizontal, sehingga kita bisa membangun relasi vertikal. Dengan kata lain, horizontal sebagai dasar dalam relasi yang sempurna, untuk membentuk relasi berikutnya yaitu relasi secara vertikal.
- Hidup yang siap untuk hidup dengan memberi, khususnya memberi WAKTU. Namun perlu diperhatikan, memberi belum tentu mengasihi. Namun ketika mengasihi, kita haruslah memberi. Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa kita atur, kita tahan, kita kembalikan. Waktu yang kita miliki sangat terbatas. Dengan siap untuk memberikan waktu kita kepada orang lain , berarti kita benar-benar mengasihi mereka, karena kita sudah memberikan sesuatu yang paling berharga yang kita miliki.
- Tidak ada kata 'besok' dan 'nanti' untuk mengasihi. Mulai dengan kata 'sekarang'. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok dan lusa. Apa yang dapat kita lakukan hari ini, lakukanlah.
Kembali kepada kejadian di pagi hari yang saya alami. Apakah yang saya lakukan di pagi hari itu adalah bentuk kasih? Atau itu hanya rasa kasihan? Karena ketika saya melakukan hal tersebut, dan ketika saya juga mungkin melakukan hal-hal lain yang serupa dengan kejadian tersebut, saya masih belum memahami secara pasti, dasar apa yang saya pijak ketika saya melakukannya. But surely, i hope what have i do is love.
LOVE
Listening-Observe-Validate-Emphasize
Komentar