Ekspedisi Papua Terang ~ Ketika Tuhan Memerintahkan Semesta untuk Bersahabat Denganmu

Kalau Danau Toba memiliki sebutan “Negeri Kepingan Surga” maka Papua dikenal dengan sebutan “Surga Kecil yang Jatuh Ke Bumi”.
Tanah Mutiara Hitam di ujung timur Indonesia, yang sangat kaya akan sumber daya alam. Bukan cuma itu, tanah ini juga terkenal dengan keindahan alamnya serta kekayaan flora dan faunanya. Keunikan dan kekhasan budaya yang disuguhkan juga menjadi daya tarik tersendiri yang dia miliki. Sungguh tanah yang sangat diberkahi oleh Yang Maha Kuasa.
Melihat langsung negeri paling ujung Indonesia adalah sebuah impian masa kecil. Memasuki masa SMA, keinginan tidak lagi hanya sekedar ingin melihat secara langsung, tapi juga ingin memberikan sedikit bakti. Menjadi seorang guru, sebuah cita-cita yang sempat saya pilih karena ingin memberi bakti melalui pendidikan. Namun rasa ego remaja tanggung akan pilihan bangku kuliah, memutus impian di tengah jalan. Sebuah pilihan yang sempat saya sesalkan karena lebih memilih rasa ego dibandingkan cita-cita. Seiring dengan berjalannya waktu, masa kuliah berakhir dan akhirnya memasuki dunia kerja. Kesempatan untuk mewujudkan salah satu mimpi melayani di Tanah Papua belum juga terwujud.

Pendaftaran dan Restu Orangtua
Notifikasi di WAG kantor tentang surat sebaran pembukaan pendaftaran Employee Volunteer Program (EVP) masuk bagai angin segar di tengah diklat yang sedang saya ikuti. “Terang untuk Saudaraku Papua” sebagai judul surat. Yang terlintas hanya pikiran tentang kesempatan untuk melayani di Papua. Kembali dibawa pada impian untuk dapat melayani di Tanah Papua, keinginan untuk bergabung sudah ditekadkan. Memang bukan pelayanan di bidang pendidikan, karena EVP ini bertujuan untuk melakukan survei kelistrikan ke desa-desa di Papua yang belum terlayani listrik sama sekali.  Namun, saya tetap bertekad untuk mendaftarkan diri karena saya, pelayanan bukan melulu hanya pendidikan, tapi juga dapat dalam bentuk lain. Salah satunya kesempatan ini, yang artinya membantu saudara-saudara kita Papua untuk dapat turut merasakan terang yang sudah puluhan tahun kita rasakan.
Sempat salah memahami periode waktu pelaksanaan EVP, nyaris membuat saya batal mendaftarkan diri. Mungkin karena terlalu excited membuat saya salah mengartikan isi surat dan menyangka pelaksanaan EVP akan dilakukan selama 2 bulan, dari Agustus hingga September. Saya tidak mungkin melewatkan hari bahagia abang saya yang akan berlangsung di pertengahan September. Semangat yang menggebu-gebu untuk mendaftar sempat padam. Sedih? Ya pasti, karena artinya saya akan melewatkan kesempatan emas ini.
Rencana Tuhan memang tak terselami. Melalui seorang teman, Dia menuntun saya untuk tetap mendaftar. Membaca ulang surat sebaran dengan lebih seksama dan teliti. Muncul keyakinan bahwa saya akan bisa mengikuti program ini tanpa harus melewatkan hari bahagia abang saya.  Semangat kembali terpompa, tak lupa saya menghubungi contact person yang tertera di surat, untuk memastikan periode pelaksanaan program dan persyaratan lain yang masih kurang saya mengerti.
Menyiapkan semua syarat administrasi tidaklah mudah. Apalagi periode pendaftaran yang bersamaan dengan jadwal diklat yang sedang saya ikuti. Berulang-ulang kontak dengan SDM unit, untuk memastikan keikutsertaan saya di program ini. Terlebih untuk mendapatkan izin dari keluarga, khususnya orang tua. Berbagai alasan saya sampaikan untuk meyakinkan mereka, bahwa saya serius dengan niat saya dan saya yakin bahwa saya akan kembali dengan selamat dari Papua. Setelah diskusi hampir 1 jam melalui video call, akhirnya orang tua memberikan izin.
Selang dua hari setelah penutupan pendaftaran, akhirnya tiba hari pengumuman penentuan peserta EPT. And as my faith told me when I registered, I got choosen as one of the volunteer. Thank You, Lord!
Terpilih sebagai salah satu dari total 65 volunteer terpilih dan merupakan salah satu wanita dari 5 volunteer wanita. Suatu kebanggaan yang tidak akan saya sangkal. Dikenalkan dengan 64 volunteer pegawai lainnya, yang akan disebar ke 5 (lma) posko di seluruh Papua. Saya bergabung di Posko Nabire bersama dengan 14 volunteer pegawai dan 38 mahasiswa dari 4 universitas (ITB, UI, Uncen, dan UGM).

Persiapan dan Vaksinasi
Berangkat ke Papua untuk jangka waktu 1 (satu) bulan tidaklah sama dengan berangkat ke Jakarta, Bandung, atau kota besar lainnya di Indonesia meski untuk periode yang sama. Selain karena ini pengalaman pertama bagi saya mengunjungi Papua, juga karena destinasi yang saya tuju bukanlah kota besar seperti Jayapura maupun Sorong. Jadi informasi yang tersedia di internet juga masih sangat terbatas.
But magically, just like Paulo Coelho once said, “When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it”. It happened with me! Dari sekian luasnya tanah di Papua, saya mendapat daerah lokasi EVP yang dekat dengan lokasi tugas seorang teman. Sehingga meski informasi dari internet sangat terbatas, saya bisa mendapatkan gambaran awal daerah yang akan saya tuju.
Sebagaimana kita ketahui, Papua masih terkenal sebagai daerah endemis Malaria dan beberapa penyakit endemis lainnya. Jadi untuk menghindari dan meminimalisir potensi ini bagi semua relawan, seminggu sebelum keberangkatan dilakukan vaksinasi JE dan pemberian obat anti malaria bagi seluruh relawan. PLN Pusat, selaku penyelenggara program EVP ini juga melakukan pembekalan tentang pelaksanaan survei di lapangan nantinya. Selain pembekalan teknis dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), kami juga mendapatkan sharing session mengenai gambaran Papua dan masyarakatnya dari kak Lala, seorang alumni Universitas Indonesia yang memiliki pengalaman tinggal di Papua saat mengerjakan tesisnya. Dan menurut saya pribadi, kesempatan sharing session itu semakin memperkuat keyakinan saya akan niat saya untuk mengikuti program EVP Ekspedisi Papua Terang ini. Saya juga ingin merasakan sendiri pengalaman yang dialami Kak Lala.

Finally, I made my first step in Papua!
Apa yang kamu rasakan untuk suatu pengalaman yang baru pertama kali kamu lakukan atau kamu alami??
Excited! That must be the answer, right?

Yes, it is! Dan tentunya ada muncul perasaan haru saat akhirnya saya bisa berdiri di Tanah Papua. Mimpi si gadis kecil dari Kabupaten Dairi, yang jaraknya 5 jam dari Kota Medan Sumatera Utara, akhirnya terwujud. Mimpi untuk bisa mengunjungi tanah di ujung timur Indonesia, yang sebentar lagi akan memberikan abdinya untuk melayani akan segera dimulai. Ucapan syukur dan terimakasih pada Yang Maha Kuasa, kupanjatkan dalam hati.
Perjalanan ke Posko Nabire dari Jakarta ditempuh selama total +- 8 jam dengan 2 kali penerbangan, yaitu Jakarta – Biak dengan transit di Makassar dan Biak-Nabire. Sesampainya di Nabire, kami disambut oleh perwakilan manajemen PLN WP2B dan Pemda Kabupaten Nabire yang disertai dengan iringan musik dan tarian, serta upacara penyambutan khas Nabire.


Selama dua hari berada di Posko Nabire, kami diberikan pembekalan lanjutan sebelum benar-benar terjun ke lapangan. Kami juga memanfaatkan waktu untuk saling mengenal satu sama lain. Oh iya, saya dipercayakan bergabung dalam Tim 103-ITB, yang terdiri dari: saya Pretty Sipayung dari PLN UIT-JBTB sebagai satu-satunya wanita di tim saya; Azra Kalimanjaro dari PLN UIP-JBT sebagai yang termuda di kelompok kami; Kevin Wibowo, alumni Oceanografi ITB sebagai yang paling sering jadi icebreaker kelompok; Haidar Ali, calon alumni Geofisika ITB sebagai yang paling cool tapi punya suara ketawa paling keras; dan Farhan Fazlurahman, alumni Oceanografi ITB juga yang paling alim dan kalem di kelompok.  Selain itu kami juga akan didampingi seorang pegawai PLN Area Manokwari, Kak Kurias, dan 3 orang anggota TNI dari Kodim 1705-Paniai: Pak Rabuka, Pak Krey, dan Pak Muhammaddin. Tim 103-ITB ditempatkan di subposko Deiyai, dengan target survei ke desa-desa yang tersebar di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Deiyai.

Menuju Desa Tujuan dan Melaksanakan Survei
Tanggal 31 Juli 2018, akhirnya tiba waktu bagi kami untuk menuju subposko masing-masing. Oh iya, kendaraan yang kami gunakan untuk mencapai desa survei adalah jenis kendaraan yang tergolong sebagai mobil mewah di daerah kota, yaitu mobil 4WD seperti Fortuner dan Hilux. Di sepanjang perjalanan, kami hampir selalu bertemu dengan mobil sejenis itu. Mungkin hanya 3 kali saya menemukan mobil sejenis Avanza dan Innova selama seminggu saya berada di daerah lokasi survei. Kalaupun ada, bannya sudah dimodifikasi dengan ban yang lebih tinggi seperti halnya mobil jenis 4WD.

Setelah perjalanan +-5 jam dari Nabire, akhirnya kami tiba di Distrik Mapia, Kabupaten Dogiyai. Sebagai informasi, istilah ‘kecamatan’ tidak dikenal di sini, tapi digantikan dengan kata ‘distrik’ yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Karena tidak adanya penginapan di Distrik Mapia, kami diizinkan menginap di Koramil 1705-10 Mapia. Kami menggunakan kantor koramil 1705-10 Mapia sebagai ‘rumah’ bagi kami selama 3 hari 2 malam.

Malam pertama, kami lewatkan dengan berbincang-bincang hangat dengan Danramil Abu Bakar dan prajurit Melki. Kami juga diberikan gambaran singkat tentang masyarakat dan kondisi desa yang akan kami kunjungi di sekitar Distrik Mapia. Selain itu malam itu kami belajar cara memakan buah pinang, sebagaimana tradisi kebanyakan masyarakat Papua. Ini sebagai persiapan bagi kami, bila nantinya kami harus ikut memakan pinang ketika pelaksanaan survei.
Selama 3 hari 2 malam di Distrik Mapia, kami berhasil melakukan survei di 3 Distrik dengan total 10 (sepuluh) desa. Topografi di kesepuluh desa ini adalah perbukitan dan pegunungan. Akses menuju desa sudah cukup bagus, dengan 20% diantaranya sudah jalan beraspal dan 80% lagi masih berupa jalan pengerasan. Dari perbincangan dengan warga, saya mendapat info ongkos transportasi yang harus mereka keluarkan masih cukup mahal, yaitu mulai dari 50 ribu - 150 ribu rupiah untuk sekali perjalanan, tergantung jarak tempuhnya. Namun, mereka tetap bersyukur karena dengan adanya akses jalan seperti sekarang, waktu tempuh yang mereka habiskan di jalanan sudah jauh lebih singkat dibanding sebelumnya, yang harus melalui gunung dan hutan, dengan berjalan kaki.

Hari ke-4 kami berpindah ke Distrik Moanemani, karena distrik target survei berikutnya lebih dekat ditempuh dari Moanemani daripada dari Mapia. Di Moanemani, tempat yang kami jadikan sebagai tempat menginap adalah Koramil 1705-06 Moanemani. Sebenarnya, di Desa Moanemani sudah ada penginapan. Namun, karena juga mempertimbangkan faktor keamanan, kami lebih memilih untuk menginap di Koramil. Fyi, meskipun Distrik Moanemani adalah ibukota Kabupaten Dogiyai, tingkat keamanan Distrik Moanemani belum sebaik Distrik Mapia.
Dari sini, kami berhasil mensurvei total 9 (Sembilan) desa lagi. Yang tersebar di Distrik Kamuu Timur dan Kamuu Selatan. Berbeda dengan 10 desa sebelumnya di sekitar Mapia, desa-desa di kedua distrik ini memiliki topografi wilayah berlumpur dan berawa. Untuk akses jalan juga belum sebagus di Mapia. Hanya sekitar 20% jalan yang layak (pengerasan dan beraspal), sementara 80% lainnya belum ada jalan sama sekali, kecuali medan lumpur dan rawa. Di kedua distrik ini, 90% jalurnya harus kami lalui dengan berjalan kaki sejauh belasan kilometer dengan 70%-nya adalah medan berawa dan berlumpur untuk dapat mensurvei desa tujuan. Tidak hanya sekali dua kali juga kami harus jatuh dan terjebak di dalam lumpur. Kaki terjebak di dalam lumpur dan harus dibantu tarik oleh yang lainnya, untuk bisa keluar dan melanjutkan perjalanan. Celana dan sepatu yang dibawa dalam keadaan bersih sebelum survei akan berubah tidak karuan, karena lumpur dan segala macam yang sudah menempel. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin ada tahi babi dan tahi kerbau yang menempel di pakaian, sepatu, dan kaki kami pada saat kembali dari lokasi survei.




Meski begitu, rasa lelah seolah tidak menghampiri kami meski dengan medan yang tergolong cukup berat ini. Tawa dan canda yang hadir pada saat ada anggota yang terjatuh atau terjebak di lumpur, seakan membawa pergi rasa lelah yang hendak menghampiri. Selain itu, tipisnya jarak antara kami surveyor dan tentara pendamping, membuat kami merasa nyaman seakan berada di sekitar keluarga sendiri.
Perjalanan tim kami dalam melaksanakan survei dapat dikatakan sangat lancar. Tidak ada gangguan atau hambatan berarti dalam setiap kunjungan kami ke desa-desa target. Bahkan kami menemukan banyak keajaiban, yang seakan disiapkan oleh jagat raya untuk menolong kami melaksanakan survei. Setiap melaksanakan survei, ada saja warga lokal yang dengan sukarela menemani kami menyusuri desa. Hujan yang seakan menjauh menghindari kami dan pemberian gratis nanas manis dan ubi rambat dari seorang ibu pendeta di saat di Distrik Kamuu Timur yang berada di tengah kurungan rawa. Sungguh perjalanan yang terberkati.

Gula-gula, ’Koyao!’, dan Babi
Suatu sub judul yang aneh. Saya bingung harus memberi judul apa.
Gula-gula atau yang lebih kita kenal dengan kata ‘permen’ adalah favorit anak-anak di sini. Bukan cuma anak-anak, tak hanya stau atau dua orang tua juga meminta saat kami membaginya ke anak-anak. Dengan satu batang gula-gula yang hanya seharga kurang dari 500 perak, kami bisa mendapatkan senyum manis dan tawa bahagia dari mereka. Senyum dan tawa yang sungguh menghangatkan jiwa. Senyum dan tawa yang seakan menegur saya, karena begitu sering tidak puasnya saya akan apa yang sudah saya dapat dalam hidup ini. Melihat senyum dan tawa mereka, mengajar dan mengingatkan saya untuk lebih berbahagia dan bersyukur untuk hal sekecil apapun itu.

‘Koyao, mama!”, “Koyao, Bapa!”, “Hormat, Mama!”, “Hormat, Bapa!” atau hanya cukup dengan “Koyao!” dan “Hormat” adalah dua sapaan yang sering kami gunakan saat berpapasan dengan masyarakat setempat. Dua kata yang sangat singkat, namun menunjukkan keramahan, keakraban, dan penerimaan. Koyao yang berarti ‘selamat’, serta ‘hormat’ yang merujuk pada arti hormat atau respek. Di Papua, saya kembali menemukan keramahan Bangsa Indonesia yang terkenal itu, yang sayangnya sudah semakin jarang saya temukan di daerah lain di Indonesia. Salam yang kami lemparkan, selalu dibalas salam oleh mereka. Tak jarang, mereka yang lebih dahulu melemparkan salam kepada kami. Dan tidak lupa, salam itu disertai dengan senyuman. Sungguh salam yang hangat.

Babi atau si sapi pendek, kadang dipakai untuk memperhalus penyebutannya, merupakan hewan yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat Papua. Selain sebagai penunjuk status kedudukan seseorang, Babi memiliki peran penting dalam upacara adat. Hal inilah yang membuat harga babi di Papua, khususnya di daerah pegunungan menjadi sangat mahal. Tidak tanggung-tanggung, harga seekor babi kecil yang jika di kampung saya cuma seharga 1 juta-an, dapat bernilai minimal 20 juta di sini. Dan bagi siapapun, jangan sekali-kali memukul, melukai, atau membunuh babi milik orang lain. Karena jika tidak, anda harus siap-siap mengganti dengan harga yang sangat mahal, khususnya untuk babi betina. Karena perhitungan harga babi betina juga dipengaruhi jumlah puting susunya. Dan satu hal penting lainnya, khususnya di daerah pegunungan, kita sangat mudah menemu babi yang berkeliaran layaknya ayam. Di sini, rumahlah yang di-‘kandang’-kan untuk menghindari masuknya babi dari rumah dan merusak kebun. Jadi, hati-hati dalam melangkah agar tidak menginjak ‘ranjau’ alias tahi babi di jalan.

Antara Sedih dan Senang (Bersyukur)
Beberapa di antara kita mungkin sudah membaca atau sekedar mendengar berita “Penyerangan Tim Relawan Ekspedisi Papua Terang”. Kata penyerangan, mungkin terdengar agak seram. Senjata, penyergapan, sandera, korban, atau kata seram lainnya mungkin muncul di benak kita. Tapi, ada satu hal yang muncul di benak saya ketika saya mendengar kisah ini langsung dari teman yang mengalaminya: kebaikan dan harapan.
Kejadian tidak mengenakkan itu terjadi tanggal 6 Agustus 2018, di desa Wage Muka, Kabupaten Paniai. Ada total 3 tim yang bertugas di Kab. Paniai: Tim 109-Uncen, Tim 311-UI, dan Tim 110-Uncen. Namun saat kejadian, tim 311-UI-lah yang berada di lokasi dan mengalami gangguan ini. Mereka bercerita, keanehan sudah mulai terasa sejak kedatangan mereka di dermaga kapal di Desa Wage Muka. Anak-anak sekolah dipulangkan, jumlah masyarakat yang turun dari desa ke dermaga lebih banyak dari biasanya, serta tatapan serta sapaan yang tidak seramah biasanya. Namun perasaan khawatir dan firasat buruk yang menghampiri mereka abaikan, karena niat tulus yang mereka untuk dapat membantu realisasi pembangunan kelistrikan di desa itu.
Tak terelakkan, kejadian yang ditakutkan terjadi. Mereka dikepung dari tiga arah, yang membuat mereka tidak dapat bergerak. Mereka membawa senjata tajam sembari berteriak-teriak marah kepada Tim 311-UI. Bahkan sempat terdengar kurang lebih 3 kali suara letusan senjata, yang dijadikan sebagai peringatan bagi dua tim lainnya untuk mengamankan diri. Tentara pendamping diserang dengan senjata tajam, relawan surveyor dipukul, dan barang berharga dirampas. Yang ada di benak mereka hanya bayangan kematian yang akan menghampiri mereka. Tangisan ketakutan meledak.
Di tengah kengerian yang terjadi, Tim 311-UI menemukan kebaikan. Tidak sedikit warga yang berusaha membantu untuk menyelamatkan mereka dari kerumunan itu. Mereka dipeluk, dirangkul, dan dituntun menuju dermaga untuk segera keluar dari kampung. Orang-orang baik ini bahkan juga rela untuk merasakan pukulan dan hantaman dari kerumunan penyerang, demi menjamin keselamatan tim surveyor. Mereka berhasil keluar dari desa dengan selamat, meski membawa luka di tubuh dan tentunya luka di hati.
Masih ada banyak orang baik dan kebaikan di tanah ini, meski dengan segala gejolak di dalamnya yang menolak upaya perubahan dan pembangunan di dalamnya. Kejadian ini juga menunjukkan, masih banyak harapan akan kemajuan dan pembangunan yang menunggu untuk diwujudkan di tanah ini. Dan harapan ini harus tergantung untuk kesekian kalinya, hanya karena segelintir kepentingan.


Suasana sesaat tentara pendamping kita belum menerima berita penyerangan di Tim 311-UI
Kita masih jalan santai, bercanda, dan tidak dalam formasi ketat. Kita berjalan beriringan dengan pasukan tentara pendamping.

Mendengar kisah ini, hati ini ikut sedih namun ada rasa syukur yang muncul. Kejadian antara hidup dan mati yang saya sendiri tidak bisa membayangkan bila saya berada di kejadian tersebut. Apalagi, seharusnya Desa Wage Muka adalah lokasi survei yang diperuntukkan untuk kelompok kami, Tim 103-ITB. Namun karena satu dan lain hal, terjadi perubahan target desa survei pada H-1 sebelum keberangkatan ke lapangan. Desa Wage Muka diserahkan sebagai tanggung jawab Tim 311-UI dan saya terbebas dari kejadian itu.

Suasana setelah tentara pendamping dapat perintah penarikan pasukan
Barisan merapat, tidak ada seorang pun yang tercecer, di barisan depan dan belakang tentara pendamping berjaga. Melewati rawa dan lumpur dengan kecepatn penuh.




I Left My Heart in Papua
Memang benar, lama tinggal saya di Papua hanya baru 28 hari dari total 9252 hari umur saya. Secara persentase bahkan hanya baru kurang dari 0.5% dari total umur saya saat menulis ini. Tapi Papua benar-benar meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi saya.
Kebaikan dan keramahan yang saya dapatkan dari masyarakat setempat, membuat saya jatuh cinta dengan Tanah Papua. Kesederhanaan yang mereka tunjukkan mengajarkan saya akan makna dari rasa syukur yang sesungguhnya. Kebahagiaan bukan melulu soal apa yang kamu punya, di saat orang lain tidak punya. Atau soal seberapa pintar atau kayanya dirimu. Kebahagiaan itu hanya tentang bagaimana cara kita memandang kehidupan dan soal seberapa bersyukurnya kita dalam hidup. Karena kebahagiaan itu sejatinya ada dalam diri kita masing-masing dan semuanya kembali pada diri kita, apakah kita mampu dan mau mensyukuri atas setiap hal yang kita dapat dan hadapi dalam hidup.

Terima kasih Papua untuk semua keajaiban, kebaikan, dan ketakjuban yang engkau berikan. Terima kasih juga buat sambutan hangatmu yang mengizinkanku untuk menikmati keindahan dan keramahanmu. Bila tiba suatu saatnya nanti semesta mengizinkanku kembali, ‘Ku sungguh ingin bersua denganmu dalam keadaan yang lebih baik. Izinkan aku untuk menitipkan sebagian dari rasa ini di tanah surgamu.

Jakarta, 10 Oktober 2018


Ps.
Tulisan ini saya buat saat sedang mengikuti PEO 2018 di Jakarta, dalam rangka mengikuti seleksi tulisan pengalaman mengikuti EPT yang akan diterbitkan sebagai buku kumpulan pengalaman EPT. Namun karena sepertinya tulisan saya tidak terpilih, untuk itu saya mengunggahnya di blog saya ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilur-bilur-Nya yang menyelamatkan (Yesaya 53:5)

New Beginning

My Priority